Jordan Spieth Kembali ke Augusta dengan Harapan Baru
Jordan Spieth mengenal setiap sudut Augusta National. Lapangan yang penuh kenangan manis dan pahit ini telah menjadi bagian dari kisah hidupnya, mungkin lebih dalam dibanding pemain lain seangkatannya.
Sepuluh tahun lalu, saat baru berusia 21, Spieth memenangkan Masters dengan performa luar biasa dari awal hingga akhir. Namun, alih-alih menikmati kejayaan itu, ia justru ingin semuanya cepat selesai.
“Saya ingin segalanya segera berakhir,” ujarnya. “Stres memimpin sejak hari pertama membuat saya tidak sabar untuk menyudahinya.”
Kemenangan itu seharusnya menjadi awal dari era kejayaan. Tahun 2015 menjadi musim impian: lima kemenangan termasuk Masters dan U.S. Open, hampir meraih Grand Slam, dan mengakhiri tahun dengan FedEx Cup.
Spieth menjadi bintang baru golf: pukulan-pukulannya ajaib, mentalnya tangguh, dan kepercayaan dirinya menular. Ia mengisi kekosongan pasca-Tiger Woods dengan gaya dan pesona tersendiri.
Namun, perjalanan itu tak berjalan mulus. Gelar major ketiganya datang di The Open 2017, namun sejak itu ia sempat tenggelam. Ayunannya goyah, kekuatannya memudar. Sejak 2018, hanya dua gelar PGA Tour ia menangkan dan sempat terlempar dari 90 besar dunia.
Ia tak mengganti pelatih maupun caddie, tapi mencoba memperbaiki ayunan sendiri — dan justru kehilangan kekhasan permainannya. Pelatih lamanya, Cameron McCormick, mengatakan: “Ia lupa fokus pada hal-hal yang dulu membuatnya hebat.”
Namun Augusta selalu membangkitkan semangat Spieth. Dalam 10 kali tampil, ia enam kali masuk lima besar. “Saya punya perasaan khusus di tempat ini,” katanya. “Saya pernah membuat birdie di hampir semua hole.”
Meski pernah gagal mempertahankan keunggulan lima pukulan di 2016, Augusta tetap menjadi panggung terbaiknya, tempat kreativitas dan permainan pendeknya bersinar.
Tahun ini, Spieth datang dengan keyakinan baru. Setelah operasi tangan tahun lalu, ia membangun kembali ayunannya — bukan dengan pendekatan baru, tapi kembali ke dasar.
“Saya tak menyebutnya perubahan ayunan,” kata Spieth. “Saya hanya kembali pada hal-hal yang sudah menjadi DNA permainan saya.”
Kini ia berusia 31 tahun, memiliki dua anak dan satu lagi dalam kandungan istrinya. Meski belum menang sejak 2022, setiap bulan April, selalu muncul pertanyaan: mungkinkah ini saatnya?
Teman lamanya, Smylie Kaufman, pernah mengirim pesan, “Babak kedua dalam kariermu belum selesai.”
Spieth setuju. Ia teringat Ben Crenshaw, mentornya dari Texas, yang menjuarai Masters keduanya 11 tahun setelah yang pertama.
Ketika Spieth kembali ke Augusta pekan ini, ia membawa luka lama sekaligus harapan baru.
“Saya masih ingat dengan jelas momen buruk dan juga yang indah,” ucapnya. “Masters tetap turnamen favorit saya di dunia — bagaimana saya bisa menciptakan lebih banyak kenangan di sini?”
Source : Liga Olahraga
Penulis : Adwina Alya Ramadhan